Tugas 11

Nama: M. Saiful Anwar (11140240000064)
Tugas 11
Yerusalem pada abad ke-20
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Allenby memasuki wilayah Yerusalem pada bulan Desember di tahun 1914. Hal ini terjadi setelah runtuhnya imperium Kerajaan Turki Ottoman dan pada saat yang bersamaan pula Turki menarik kembali tentara-tentaranya dari  wilayah Yerusalem. Yerusalem saat itu adalah ibu kota untuk negara Palestina yang berlaku selama adanya Mandat Inggris untuk Negara Palestina di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.
Selama periode ini, terutama selama Perang Dunia II, imigrasi Yahudi ke Palestina dilakukan secara cepat. Mufti Yerusalem, yang saat itu dipangku oleh Haj Amin al-Husseini, mengklaim bahwa Arab melawan terhadap segala bentuk migrasi ini. Sementara itu, di saat yang bersamaan Ragheb al-Nashashibi  menduduki kursi kepresidenan di kota Yerusalem. Beliau mengemban masa tugas antara tahun 1920 dan 1934.
Selama periode ini, kota Yerusalem berkembang dan terus berkembang dengan pesatnya. Pada masa itu pula, populasinya meningkat secara tajam meski dari segi keamanan masih sering terjadi bentrokan dan konfrontasi tajam antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab. Bentrokan tersebut berlangsung dan dimulai dari tahun 1920 sampai 1929.
Pada tahun 1936, di kota tersebut telah terjadi pemogokan besar-besaran yang kemudian berubah menjadi pemberontakan massal dan besar-besaran pula melawan legitimasi Mandat Inggris. Haj Amin al-Husseini pada masa itu menjadi kepala penghasut pemberontakan ini. Kemudian dia melarikan diri dari Palestina.
Di Palestina pada tahun itu juga, telah terjadi berbagai macam konfrontasi bersenjata. Kondisi demikian makin parah dan terus berlanjut sampai di masa awal Perang Dunia II. Menariknya selama Perang Dunia Kedua itu sendiri, Yerusalem hidup hampir dengan aman, tenang dan damai, namun saat Perang  Dunia berakhir, kerusuhan, kekisruhan dan kekerasan kembali terjadi di berbagai daerah dan posisi Yerusalem kembali tergoncang.
Kampanye Pemboman
Pada bulan Juli di tahun 1946, anggota gerakan Zionis Argun yang selalu melakukan pergerakan di bawah tanah telah meluncurkan serangkaian serangan dan berbagai pemboman terhadap pasukan Inggris di berbagai wilayah, termasuk serangan terhadap Hotel King David, yang merupakan markas Otoritas Mandat Sipil dan Militer Inggris saat itu. Akibatnya sejumlah besar tentara dan personil Inggris tewas dan luka pada peristiwa mematikan tersebut.
Pada tahun 1947, kekerasan makin menjadi-jadi dan meluas terjadi antara orang-orang Arab dan orang-orang dari kalangan Yahudi. Pada tahun ini pula, kekerasan memakan banyak korban. Banyak  orang yang terbunuh akibat kejadian tersebut.
Pada bulan November 1947, rencana pembagian Palestina telah disahkan dan ditanda tangani oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan status khusus diberikan ke kota-kota Yerusalem dan Betlehem. Beberapa wilayah ini ditempatkan di bawah wewenang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun resolusi tersebut tidak menemukan jalan yang mulus menuju implementasi. Dan bahkan dalam prakteknya, resolusi tersebut sangat nihil diterapkan. Dengan penarikan Gubernur Tinggi Inggris dan seluruh pasukan Inggris dari Palestina pada tanggal 14 Mei 1948, Mandat Britania berakhir. Setelah itu, baru kemudian pembentukan negara Israel  pun diumumkan.
Selama Perang Palestina pada tahun  1948 -perang yag kemudian diikuti dengan berdirinya negara Israel- Israel dapat menguasai dan menduduki wilayah Yerusalem Barat. Sementara itu, pasukan Yordania menguasai Kota Tua dan sebagian besar wilayah Timur Yerusalem. Pembagian kota antara Yahudi dan seluruh penduduk menjadi kenyataan yang tak bisa dielakkan.
Sebuah gencatan senjata dicapai pada bulan April 1949 antara Israel dan orang-orang Arab. Meski demikian gencatan ini dilakukan tanpa disertai dengan kesepakatan untuk berdamai antara kedua belah pihak.
Pada bulan Desember 1949, Israel mengumumkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Negara Israel. Pengakuan ini sayangnya dilakukan secara sepihak tanpa ada legitimasi dari masyarakat internasional yang member pengakuan atas keputusan Negara Israel tersebut.
Namun meski mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota negara, pada saat itu, Israel tidak serta merta memindahkan dan mengalihkan semua kegiatan administrasi pemerintahan ke wilayah Yerusalem. Hal demikian tertunda sampai beberapa tahun kemudian.
Kemudian sampai tahun 1967, wilayah Yerusalem tetap terbagi antara bagian barat yang berada di bawah kontrol negara Israel dan bagian timur yang berada di bawah kendali negara Yordania. Dua wilayah berbeda tersebut dipisahkan oleh kawat berduri dan menara pengawas  dengan tembakan sesekali jika ada orang yang berani melawatinya.
Orang-orang Yahudi dari negara Israel menyimpan sebuah jip di puncak Bukit Zaitun namun kendaraan tersebut tidak bisa sampai ke Rumah Sakit Ibrani dan Rumah Sakit Hadassah di Bukit Zaitun.
Hampir semua tempat suci berada di bawah kendali negara Yordania dan tidak dapat dijangkau oleh penduduk Yerusalem Barat kecuali melalui Gerbang Mandelbaum, yang melaluinya korps diplomatik asing dan orang-orang Kristen dibatasi pada acara keagamaan mereka.
Negara Israel mencoba menguasai dan berusaha menduduki wilayah Tepi Barat selama perang di bulan Juni  pada tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur dan Kota Tua yang saat itu menjadi prioritas penguasaan mereka. Otoritas Israel membubarkan kota Yerusalem Timur dan kemudian mendirikan sebuah pemerintahan kota untuk mengelola seluruh kota Yerusalem sebagai wilayah yang dikuasai Israel.
Negara Israel dengan tegas menolak resolusi yang disepakati Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perserikatan Bangsa-Bangsa ini mengecam keras tindakan Israel di  wilayah Yerusalem, dan masyarakat internasional, bersama dengan orang-orang Arab dan rakyat Palestina, menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah penjajahan atau wilayah yang diduduki.
Pada tahun 1980, Knesset Israel mengeluarkan sebuah resolusi dan dekrit controversial yang isinya sangat menekankan keberlanjutan Jerusalem yang bersatu sebagai ibu kota Negara Israel. Pada saat itu, resolusi tersebut menimbulkan kekisruhan besar dan menyebabkan kegemparan luar biasa pada tingkat global dan internasional. Resolusi tersebut menunjukan bahwa  nasib dan status kota Yersualim tetap menjadi subyek perselisihan dan konflik sengit antara kedua pihak.
Konstruksi dan pembangunan kompleks-kompleks untuk pendudukan  Israel dipercepat di kota Yerusalem dan di beberapa kota sekitarnya. Selama intifada pertama (1987-1993) di Palestina berlangsung, situasi di lingkungan Yerusalem antara Palestina dan Israel tampak begitu tegang dan kondisinya makin memburuk, terutama yang sering terjadi ialah bentrokan kekerasan antara tentara –tentara Israel dan  rakyat Palestina yang ada di jalan-jalan besar di wilayah Yerusalem pada tahun 1990-an.
Transisi Politik
Penandatanganan Persetujuan Oslo antara Palestina dan Israel pada tahun 1993 merupakan terobosan politik baru dan penting karena kedua belah pihak sebenarnya sepakat untuk menentukan nasib dan masa depan Yerusalem di meja perundingan. Dalam konteks ini, beberapa lembaga PLO diizinkan untuk bekerja di wilayah Yerusalem.
Warga Palestina di wilayah-wilayah Yerusalem juga diizinkan untuk memilih wakil mereka dalam pemilihan umum untuk anggota Dewan Nasional Palestina.
Pada beberapa tahun setelah Persetujuan Oslo tersebut, Israel telah menerapkan kebijakan lama yang mencoba kembali untuk memperkuat kontrol otoritas Israel terhadap kota suci tersebut. Hal demikian dilakukan dengan mengubah komposisi demografinya sehingga menjadi 70 persen bagi Negara Israel dan   30 persen bagi orang-orang Palestina. Jumlah pemukim di Yerusalem Timur sebenarnya melebihi jumlah orang-orang Arab di Yerusalem.
Otoritas dan pihak berwenang Israel telah berusaha untuk mencabut hak tinggal bagi orang-orang Palestina Yerusalem yang tinggal di luar kota tersebut. Hal itu disebabkan karena minimnya perumahan dan serta usaha Israel untuk melakukan pembongkaran terhadap rumah-rumah Palestina. Parahnya lagi, hal demikian juga dilakukan  karena orang-orang Palestina tidak diberi izin mendirikan bangunan di wilayah tersebut.
Pada tahun 2000, Presiden Amerika Serikat saat itu, Bill Clinton, dibilang telah gagal dalam usahanya untuk mendatangkan dan mempertemukan kembali presiden Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak ke meja perundingan untuk mendiskusikan solusi bagi kedua negara. Pada tahun yang sama, pemimpin sayap kanan (sayap konservatif) Likud Ariel Sharon mengunjungi Kuil Bukit, yang dikawal oleh 1.000 petugas keamanan Negara. Tindakan ini sebenarnya dapat menyulut emosi, memprovokasi dan memunculkan demonstrasi secara besar-besaran oleh rakyat Palestina yang sangat benci kepada perlakuan dan penindasan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Pada tahun 2003, Israel memulai konstruksi dan pembangunan kembali garis pemisah sepanjang ratusan kilometer jauhnya. Pembangunan ini dicoba dilakukan untuk menghentikan sekaligus untuk meminimalisir serangan bunuh diri (oleh sayap-sayap Islamis) yang menargetkan beberapa kota di negara Israel. Namun, kebijakan ini sebenarnya telah menghancurkan dan merusak citra dan posisi negara Israel sendiri di mata masyarakat internasional. Bahkan, tindakan tersebut dianggap telah menggagalkan adanya kesempatan baik untuk dilakukannya berbagai usaha perundingan damai antara kedua belah pihak yang berseteru.
Dan pada tahun 2004, Pengadilan Internasional (ICJ) mengatakan bahwa rute tembok atau garis pemisah tersebut sangat bertentangan dengan Hukum Internasional. Selain itu usaha yang dilakukan negara Israel untuk mengontrol dan menguasai wilayah Yerusalem Timur dianggap sebagai perbuatan yang ilegal menurut ketetapan dan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Internasional.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas 8

Tugas 3

Tugas 4